Judul : Soeharto
Penulis : Santosa Amin
Sutradara : Santosa Amin
SUHARTO
Dari Duka Untuk Esok
________________________________________________________Karya : Santosa Amin
Suharto menatap menatap keluar jendela, dengan wajah lusuh, hanya ada sedikit harapan terpancar diwajahnya, dia mengancingi baju satu persatu, lalu menata rambutnya hanya dengan jari saja
Suharto : Suharto, biar namaku sederhana tapi ini adalah nama kebanggaan buatku, aku ingat perkataan bapakku mengapa dulu memberi nama Suharto
Bapak meletakan kacamata diatas Koran bertuliskan “5 Oktober 1945 Suharto resmi menjadi anggota TNI” diatasnya ada kertas angka 5 dan 8 yang dilingkari dengan tinta merah
Bapak : Su itu baik, harto itu kekayaan, Bapak hanya ingin anak bapak bisa menjadi orang yang kaya dengan cara yang halal
Suharto : Itu harapan dari bapak, lain lagi dari Ibu.
Ibu mengaduk makanan , memberikan pada kucing, mengelap kotoran, mencuci lap, memeras dan menjemurnya.
Ibu : Gunakan harta yang sudah kau peroleh untuk hal yang baik.
Suharto meresleting celananya, lalu mengenakan sepatu yang sudah butut, harto mengambil tas, lalu memasukan Map kedalam tas, dan sebuah buku berjudul bapak pembangunaan. Kemudian keluar rumah,selagi menutup pintu, perepuan menggendong anak menyapanya.
Tetangga : Suharto, sudah kerja dimana?
Suharto : Masih melamar Bu
Suharto melangkah keluar dari gang, sesekali dia berpapasan dengan orang orang sekitar. Dari atas lentai dua sebuah rumah yang di lalui Suharto seorang lelaki bermata satu berteriak
Lelaki 1 : Pak presiden, angkat aku jadi mentri, setidaknya berkurang satu orang rakyat
miskin.
Suharto, hanya member hormat pada laki laki itu dan melanjautkan langkahnya.
Suharto : Tapi harapan tinggal harapan, aku seorang sarjana pendidikan, tapi aku
masih lontang lantung mencari pekerjaan, aku menyesal sampai bapakku
meninggal aku belum bisa mewujudkan apa yang menjadi harapannya, boro boro aku bisa mendapatkan harta yang halal yang kharam saja susah. Tapi untungnya aku masih memegang teguh prinsip yang ditanam oleh ibuku
Ibu menampi beras, Suharto duduk termangu
Ibu : Ya..kalau diperolehnya dengan cara yang baik, khalal, dimakan juga enak
to? Harta itu tidak harus berupa materi atau uang.
Anak anak berseragam sekolah lewat dihadapan Suharto, seorang anak menembak Suharto dengan jarinya yang membentuk pestol. Suharto berpura pura terluka, namun dia bangkit dan member senyum yang lebara pada anak sekolah itu.
Suharto : Itu yang membuatku masih bertahan, kenapa aku tidak mencuri, mencopet,
apalagi menjadi pemalak bagi orang yang bekerja dengan memeras keringatnya
Badrun sedang menerima setoran dari anak anak pengamen, penegmis dll. Suharto melintas dan sempat beradu pandang dengan Badrun, Suharto menarik nafas dan melanjutkan perjalanan.
Cut To
Sore hari Suharto sedang memegang surat panggilan kerja, ibunya sedang menyalakan kompor
Ibu : Ini kesempatan langka lho To, tawaran untuk kerja perusahaan developer
(Pengembang), gajinya juga besar, Ibu menyekolahkanmu tinggi tinggi kan biar
kamu bisa bekerja di tempat yang enak.
Harto : Saya takut ,Bu.
Ibu : Takut apa?
Suharto : Takut nggak bisa ngajar anak anak lagi.
Ibu : Berapa kau dapat uang dari mengajar anak anak jalanan itu?
Suharto : Setidaknya dapat yang khalal Bu, tidak harus menyakiti orang lian, aku nggak
meminta mereka untuk membayar kok.
Ibu geleng geleng kepala, menarik napas, tapi mengerti apa maksud Suharto
Ibu : Jaga niatmu, jangan di kotori.
Ibu meneruskan memasak memasukan labu siam kedalam wajan yang sudah berisi tumisan bumbu, Suharto memandang amplop yang sedari tadi dia pegang, bertuliskan “surat panggilan”
Suharto : Hidup itu memang pilihan ,Bila ingin jadi pohon besar siaplah diterpa angin dan
badai,jika tidak jadilah rumput yang hidup dibawah pohon besar.
Namun kau akan selalu diinjak-injak orang…
Jika tidak ingin ditumbangkan angin dan diinjak-injak orang, jadilah semak belukar.
Namun suatu saat kau akan dirabas orang…
Yah… hidup adalah pilihan…
dan hidup ini terlalu singkat untuk dilalui dengan pilihan yang salah…
Suharto memberikan pensil warna pada parmin yang sudah memegang kertas kosong, pertama dia menyodorkan warna kuning, kemudian merah, biru, hijau dan ungu, parmin melihat mata Suharto, sesaat mereka beradu pandang, parmin menyingkirkan semua pensil warna itu, dan mengambil pulpen dari kantongnya. Kemudian Parmin
Cut to.
Parmin membuka tudung saji di meja, tak ada apa apa kecuali wadah yang kosong , ibunya batuk batuk dengan dua salompas di kening kiri dan kanan, melongok dari balik kordeng pintu berwarna kumal.
Parman : Nggak masak ya Mak?
Mak Parmin : Uangnya emak belikan obat, maaf ya Parmin.
Parmin : Nggak apa apa Mak, semoga nanti hujan, jadi Parmin bisa ngojek payung lagi.
Mak Parmin ; Tapi kalau hujan harus siap siap banjir.Kamu lapar? Kamu minta nasi
ke warungnya Mba Sri dulu ya..?
Parmin : Nggak usah mak, sudah banyak bon di warung Mba Sri.
Mak Parmin Parmin memandang Parmin dengan sedih.
Parmin : Mak ,Parmin ambil Koran sore dulu ke loper ya.
Mak Parmin mengangguk tersenyum, tapi air matanya perlahan menetes.
Cut To
Parmin, berjalan sendiri di gang Jakarta yang kumuh, sesekali matanya silau karena matahari, sambil memandang langit seperti memprediksi hujan atau tidak. Suharto melihat parmin dari balik jendela. Jalanan, Parmin menjual Koran diantara kemacetan mobil mobil.
Suharto : Aku bukan satu satunya orang yang kesusahan di kampung ini, masih banyak orang
yang jauh lebih susah hidupnya. Seperti Parmin misalnya, yang membedakan aku
dengan Parmin hanya usia, anak seusia parmin harus membanting tulang untuk
menghidupi dirinya dan ibunya yang sakit sakitan
Cut To
Sebuah ruang sederhana, di depan kaca Suharto merapihkan rambut sekedarnya, emaknya muncul dengan peci putih di tangan.
Ibu : Harto, pakai ini.
Harto ragu ragu untuk menerimanya.
Ibu : Pakai…, itu peci peninggalan bapakmu.
Suharto menerimanya dengan gamang, dia merasa belum siap dengan peci seperti itu. Lalu perlahan dia mengenakannya, lalu menatap wajahnya di cermin.
Ibu : Kamu pantas mengenakan peci itu.
Suharto : Terimaksih Mak.
Suharto mencium tangan ibunya dan pergi.
Cut To
Ruangan seperti sebuah rumah singgah, ada beberapa anak duduk seenaknya sambil mendengarkan Suharto mengajar. Suharto menyalakan sebuah lilin
Suharto : Lihat lilin ini, tubuhnya rela terbakar untuk menerangi kita.
Harto tiba tiba menghentikan ucapannya karena mendengar suara tangisan dari salah seorang anak diruangan itu.
Harto : Janah, kenapa menangis?
Janah : Seperti Bapakku yang mukanya rusak terbakar karena menyelamatkan aku saat
kebakaran setahun yang lalu.
Harto : Seperti itulah orang tua kita.
Suharto memeluk Janah…, sangat sedih.
Pito tiba tiba tertawa, sambil menunjuk ke arah pintu….
Harto : Pito?
Akhirnya semua melihat ke arah pintu…..dan di pintu berdiri Parmin dengan muka memar dan beberapa lembar Koran di tangan berjatuhan satu satu. Harto menghampiri Parmin.
Pito : Hahahaha, parmin benjut…..
Harto : Pito…sssst, Parmin kenapa kamu?
Parmin hanya diam dan menggeleng.
Harto : Di palak preman lagi?
Parmin hanya menangis, dan Suharto menepuk pundaknya, dan matanya menyiratkan ketidakrelaan.
Cut To
Sebuah warung makan sederhana, lagu roma irama terdengar dari radio kecil yg terletak di pojok meja. Parmin makan dengan sangat lahap. Harto menoleh….
Harto : Pelan pelan…., masih sore kamu sudah lapar?
Parmin : Ini….sarapan Parmin, Bang.
Suharto seperti dipukul dadanya. Parmin meminum air putih, tanda selesai makan.
Harto : kok nggak dihabiskan?
Parmin : Mau dibungkus Bang, buat emak di rumah.
Harto : Habiskan, buat emak bungkus yang baru. Pak, Bungkus satu ya, pakai ikan, telur
dan sayur.
Parmin : Bang Harto nggak makan?
Harto : Puasa.
Parmin : Bukan karena duitnya nggak cukup?
Harto menggeleng sambil tersenyum, Harto merogoh kantongnya, dan meliriknya hanya ada enamribu rupiah.
Cut To
Parmin Jalan beriringan, sampai akhirnya berpisah disebuah gang, Parmin berlari setelah beberapa langkah dia membalikan badan sambil teriak
Parmin : Bang Harto, terimakasih
Harto mengacungkan jempolnya. Parmin menghilang di telan rumah rumah kumuh.
Cut To
Parmin masuk kedalam rumahnya, dan menemukan ibunya dalam kondisi yang kritis
Parmin : Mak..Mak…Mak…
Parmin kaget melihat emaknya yang kondisi lemas dan terbaring di ranjang.
Parmin : Mak…Mak…Mak….emak kenapa? Jangan bikin Parmin takut mak….bangun
maak….Maaaak….
Mak Parmin : Parmin….
Parrmin : Mak bangun mak….emak jangan sakit, mak harus sembuh, Parmin akan lakukan
apa saja asal emak sembuh…tunggu Mak Parmin akan mencari pertolongan.
Parmin Meninggalkan Emaknya dengan perasaan yang campur aduk.
Cut To
Parmin berlari menyusuri gang, mendaki gundukan sampah, melompati pagar, menyebrangi jalan, wajahnya begitu panic, sampai akhirnya tersungkur di kaki Barun. Badrun membisikan sesuatu pada Parmin, Parmin sempat ragu tapi akhirnya nekat, Badrun memberikan sarung dan peci.
Cut To
Parmin mengedap endap, disebuah musholah, lalu berpura pura wudhu, ada penjaga musholah yang sedikit curiga pada parmin, lalu Parmin pura pura shalat, tapi matanya melirik ke suah kotak amal yang tergeletak di ujung ruang musholah, setelah dirasa aman Parmin mengambil kotak amal dan membungkusnya dalam sarung. Penjaga musholah menegtahui dan parmin segera membawa kabur kotak amal itu.
Penjaga : Maliiiing…ada yang mecuri kotak amal…Maliiiiiing.
Spontan banyak warga yang datang ikut mengejar parmin
Cut To
Parmin berlari sambil membawa kotak amal dalam sarung, orang orang mengejar, melalui gang sempit, jembatan, gang becek, comberan dll, Suharto yang sedang melintas melihat kejadian itu.
Suharto : Parmin?!
Suharto mengikuti parmin dengan panic, Parmin berlari dengan panic, dan saat menyebrang jalan sebuah mobil CRV menabraknya, Kotak amal terlempar dan uang, koin dan kertas berhamburan, Suharto berteriak.
Suharto : Parmiiiiiiiin
Suharto memeluk parmin yang berlumuran darah dengan tangis, dan penyesalan yang dasyat.
Cut To
Suharto bersama anak anak lain, berdiri mematung menyambut Parmin dan ibunya yang sudah sembuh dari sakit. Mereka saling berhadapan dg jarak yang lumayan jauh, dan salin member senyum, Parmin mengenakan tongkat dengan satu kali yang sudah tidak ada.
Suharto : Niat Parmin sangatlah mulia, Dia hanya ingin emaknya sehat, walau dia menempuh
dengan jalan yang salah, tapi aku lebih merasa ini salahku, salah kita, yang tak pernah tahu, bahkan tak pernah mau tahu, nasib anak anak seperti Parmin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Merangkai Makna, dengan gambar